Menjadi Nelayan di Negeri Maritim
- 4/06/2019 10:40:00 PM
- By adriyani.ayu
- 0 Comments
Kapal Perintis Meliku Nusa (menuju Pulau Miangas) di tepi Samudera Pasifik (Dok. Pribadi) |
Archipelagic State, begitulah julukan Indonesia. Namun, mari untuk tidak mengikuti arus utama dengan mengartikannya sebagai Negara Kepulauan. Di tahun 1957, Djuanda Kartawidjaja telah memulai tonggak penting, secara politik dan hukum di mata dunia, untuk mengukuhkan laut sebagai bagian dari identitas dan kedaulatan Indonesia. Archipelagic berangkat dari kata archipelago yang dalam Bahasa Yunani berasal dari kata arche (utama) dan pelagos (laut). Pemaknaannya, dapat dimulai dengan “Lautan yang ditaburi pulau-pulau” atau “lautlah yang utama”. Begitulah Prof. Lapian, sejarawan dan ahli kemaritiman, menegaskannya dalam karya-karyanya. Meluruskan diksi ini tentu bukan hanya persoalan lingua semata, melainkan lebih penting daripada itu, yakni sebuah upaya untuk meluruskan cara pandang dan penerjemahannya dalam laku keseharian kita.
Indonesia adalah negara dengan luas wilayah perairan lebih besar dibandingkan luas daratannya. Negeri ini juga hadir dengan garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada. Sejarah panjang yang melingkupi ruang-ruang geografis dan dinamika sosial kultural masyarakat Indonesia menjadikannya sebagai negeri maritim yang kaya. Namun apa daya, Menteri Kelautan dan Perikanan RI Susi Pudjiastuti, pernah menekankan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, Indonesia justru terus mengalami penurunan jumlah rumah tangga nelayan. Data tahun 2013, menunjukkan hanya tersisa 800 ribu KK.
Nelayan di Pantai Wediombo, Gunungkidul DIY(Dok. Pribadi) |
Nelayan tentu adalah salah satu pihak penting yang memastikan bahwa kemaritiman sesungguhnya adalah bagian dari keseluruhan cara hidup sebagian besar masyarakat kita. Ini penting. Karena konon, kita telah lama memunggungi laut. Meski pada akhirnya, proyek mengubah lautan menjadi daratan masih terjadi secara terstruktur dan sistematis, limbah buangan masyarakat masih terus mencemari lautan hingga pada tahap menakutkan, dan banyak hewan-hewan laut yang akhirnya harus mati karena gagal mengenali ekosistemnya sendiri. Akhirnya, berbagai penelitian mulai membuktikan bahwa mikroplastik juga bisa ditemukan di dalam tubuh ikan.
Semua ironi tentang laut bukan hanya narasi tentang degradasi ruang. Melainkan juga secara kolektif akan menyoal tentang manusia dan kebudayaan yang melingkupinya. Perubahan ruang akan berimplikasi pada perubahan pola hidup. Sederhananya, daerah pesisir yang tercemar hingga diubah juga akan berelasi pada keadaan sosial kultural para masyarakat yang menggantungkan hidup di atasnya. Nelayan misalnya, belum selesai pada narasi tentang kesejahteraan (ya, apa sih yang benar-benar selesai di negeri ini?), mereka harus diperhadapkan pada daerah melaut yang semakin jauh karena reklamasi, kemudian kebijakan ekspor impor yang justru membuat mereka harus berusaha lebih keras agar hasil tangkapannya bisa bersaing, hingga pada keputusan untuk beralih mata pencaharian dan fokus ke daratan. Untuk urusan perut, rasionalisasi elitis tentang kemaritiman apalah lagi yang berguna?
Maka pada orang-orang yang mendermakan hidupnya secara arif untuk pembangunan sektor maritim, negara harusnya menaruh hormat. Selamat Hari Nelayan. (Tim Buku-BFM)